Salah alasan yang
sering dilontarkan oleh segelintir kelompok yang dikenal liberal
menolak penerapan
syariah Islam oleh negara adalah bahwa tidak ada dalil yang
mewajibkan mendirikan
negara. Bagaimana menjawab pertanyaan ini ?
Telah menjadi
kesepakatan para ulama bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Quran
dan hadits-hadits
nabi saw digunakan dua pendekatan. Pertama, memahami
pengertian secara
tersurat, secara langsung dari lafazh-lafazh al-Quran maupun as-
Sunah. Ini yang
sering dikatakan sebagai pengertian secara harfiah. Sedangkan para
ulama menyebutnya
sebagai manthûq. Yakni pengertian tersurat, pengertian yang
langsung dipahami
dari lafazh (kata) atau dari bentuk lafazh yang terkandung dalam
nash. Kedua,
pengertian secara tersirat. Yaitu pengertian yang dipahami bukan dari
lafazh atau bentuk
lafazh secara langsung, tetapi dipahami melalui penafsiran secara
logis dari petunjuk
atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang
dinyatakan dalam
nash. Kita sering menyebutnya sebagai pengertian kontekstual.
Sedang para ulama
menyebutnya dengan istilah mafhûm. Makna ini merupakan akibat
(konsekuensi) logis
makna yang dipahami secara langsung dari lafazh. Makna ini
menjadi kelaziman
makna lafazh secara langsung. Artinya makna ini menjadi keharusan
atau tuntutan makna
lafazh. Dan para ulama menyebutnya sebagai dalâlah al-iltizâm.
Dalâlah al-iltizâm
ini dapat dibagi menjadi : dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah tanbîh wa alimâ’,
dalâlah isyârah dam
dalâlah al-mafhûm yang terdiri dari mafhûm muwâfaqah dan
mafhûm mukhâlafah
(pengertian berkebalikan). Namun perlu diingat bahwa
pengambilan
pengertian dari nash syara’ baik secara manthuq maupun secara mafhum
tidak boleh keluar
dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab.
Dengan menggunakan
dua pendekatan ini maka kita akan mendapati bahwa al-Quran
dan as-Sunnah serta
didukung oleh Ijma’ Sahabat telah mewajibkan kita mendirikan
pemerintahan atau
negara. Dalil-dalil serta penarikan argumentasi wajibnya kita
mendirikan
negara/pemerintahan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah Swt
telah memerintahkan kita untuk menaati ulil amri. Allah Swt
berfirman :
يَاأَيُّھَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا أَطِيعُوا للهََّ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang
beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. (TQS.
an-Nisâ’ [04]: 59)
Ibn Athiyah
menyatakan bahawa ayat ini merupakan perintah untuk menaati Allah,
Rasul-Nya dan para
penguasa. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama: Abu
Hurairah, Ibn ‘Abbas,
Ibn Zaid dan lain-lain.[1]
Lebih jauh ayat ini
juga memerintahkan kita untuk mewujudkan penguasa yang kita
wajib mentaatinya.
Semua yang dinyatakan oleh Allah adalah benar. Allah Swt juga
tidak mungkin
memerintahkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mungkin kita
laksanakan. Kewajiban
menaati ulil amri itu akan bisa kita laksanakan jika sosok ulil
amri itu wujud (ada).
Jika tidak ada, maka tidak bisa. Padahal, itu adalah kewajiban
dan tidak mungkin
Allah salah memberikan kewajiban. Maka sebagai konsekuensi
kebenaran pernyataan
Allah itu, maka sesuai ketentuan dalâlah al-iltizâm, perintah
menaati ulil amri
juga merupakan perintah mewujudkan ulil amri sehingga kewajiban itu
bisa kita laksanakan.
Maka ayat tersebut juga bermakna, realisasikan atau angkatlah
ulil amri diantara
kalian dan taatilah ia. Yang dimaksud ulil amri dalam ayat ini adalah
penguasa.
Kedua, Allah
memerintahkan untuk menerapkan syariat Islam. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُھَيْمِنًا
عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَھُمْ بِمَا
أَنْزَلَ للهَُّ وَلاَ
تَتَّبِعْ أَھْوَاءَھُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Dan Kami telah
turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]:
48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَھُمْ
بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ وَلاَ تَتَّبِعْ أَھْوَاءَھُمْ وَاحْذَرْھُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ
عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ
للهَُّ إِلَيْكَ
dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah
kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 49)
Kedua ayat di atas
secara tersurat memerintahkan Rasul untuk menghukumi
(memerintah) dengan
apa yang diturunkan oleh Allah. Kata mâ anzala Allâh, kata mâ
ini merupakan lafazh
umum makna ayat tersebut adalah hukumi (perintahlah) mereka
sesuai dengan apa
saja yang diturunkan oleh Allah kepadamu wahai Muhammad dan
jangan kamu mengikuti
yang lain. Karena yang lain itu berasal dari hawa nafsu yang
hanya akan
menyebabkanmu menyimpang dari apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu.
Sekalipun mukhathab
(orang yang diseru) secara langsung dalam ayat ini adalah
Rasul, namun seruan
ini juga merupakan seruan bagi kita, umat Rasul, karena kaedah
syara’ mengatakan
[ خِطَابُ الرَّسُوْلِ
خِطَابٌ لأُمَّتِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ ]
Seruan kepada Rasul
merupakan seruan kepada umatnya selama tidak datang dalil
yang mengkhususkan
kepadanya [2]
Sementara tidak ada
satu dalil pun yang mengkhususkan seruan itu hanya bagi rasul.
Oleh karenanya,
seruan dalam kedua ayat di atas juga merupakan seruan kepada
kita.
Kemudian terhadap
perintah di atas datang berbagai qarinah (indikasi) yang
mengindikasikan bahwa
perintah tersebut sifatnya adalah tegas. Indikasi-indikasi
tersebut adalah
firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang
tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia
termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang
tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia
termasuk orang-orang yang zalim (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang
tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia
termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 47)
Disifatinya orang
yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan oleh Allah
(syariat Islam)
sebagai orang zalim, fasik atau kafir, menunjukkan adanya celaan
atasnya. Jika
perintah melakukan sesuatu, lalu orang yang tidak melakukannya
mendapat celaan, maka
itu menunjukkan bahwa perintah tersebut sifatnya tegas
yakni wajib. Dengan
demikian perintah Allah untuk menghukumi manusia menggunakan
apa-apa yang
diturunkan oleh Allah yakni dengan syariat Islam adalah wajib.
Disamping itu banyak
nash yang menjelaskan hukum-hukum rinci baik dalam masalah
jihad, perang dan
hubungan luar negeri; masalah pidana seperti hukum potong tangan
bagi pencuri, qishash
bagi pembunuh, jilid atau rajam bagi orang yang berzina, jilid
bagi qadzaf (menuduh
seseorang berzina dan tidak bisa mendatangkan empat orang
saksi) dan
sebagainya; hukum masalah muamalah semisal jual beli, utang piutang,
pernikahan, waris,
persengketaan harta, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib kita
laksanakan.
Hukum-hukum itu tentu
saja tidak bisa dilaksanakan secara individual. Akan tetapi
sudah menjadi
pengetahuan bersama dan tidak ada satu orangpun yang
memungkirinya, bahwa
penerapan hukum-hukum itu hanya melalui institusi negara dan
dilaksanakan oleh
penguasa. Jadi pelaksanaan berbagai kewajiban itu yaitu kewajiban
menghukumi segala
sesuatu dengan syariat Allah itu hanya akan sempur bisa kita
laksanakan jika ada
negara dan penguasa yang mengadopsi dan menerapkannya.
Berdasarkan kaedah
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ
اِلاَّ بِهِ فَھُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban tidak
akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
menjadi wajib [3]
Kewajiban menghukumi
segala hal dengan syariat Islam tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya negara
dan penguasa yang bertindak sebagai pelaksana (munaffidz),
maka mewujudkan
negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu menjadi
wajib.
Dari sejumlah nash di
atas menjadi jelas bahwa kita diperintahkan untuk mendirikan
negara dan mengangkat
penguasa. Hal itu merupakan kewajiban, Juga jelas bahwa
negara dan penguasa
yang wajib kita wujudkan itu bukan sembarang negara dan
sembarang penguasa.
Akan tetapi negara yang wajib kita wujudkan itu adalah negara
yang menerapkan
hukum-hukum Allah. Karena pendirian negara itu adalah dalam
rangka melaksanakan
kewajiban menghukumi segala sesuai dengan hukum-hukum
Allah. Sedangkan
penguasa yang wajib kita angkat melihat dari nash-nash diatas
haruslah berasal dari
kalangan kita yakni kaum muslim karena dalam QS. an-Nisa ayat
59 itu disebutkan
minkum (dari kalian), sementara kalian yang dimaksud adalah kaum
mukmin. Dan sifat
yang kedua adalah bahwa penguasa itu kita angkat untuk
menerapkan
hukum-hukum Islam. Karena ia kita angkat dalam rangka melaksanakan
kewajiban menghukumi
sesuai hukum Allah. Semua ini menegaskan kepada kita bahwa
metode satu-satunya
untuk menerapkan Islam secara total adalah negara (daulah).
[1] Ibn
‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajîz, juz iv, hal. 158
[2] An-Nabhani,
asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III (ushul Fiqh), min Mansyûrât Hizb
at-
Tahrîr, Al-Quds. Cet.
II hal. 242.
[3] Imam
Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm-il Ushûl, juz 1 hal. 71; Al-Banani, Hâsyiyah
al-
Banâni, juz
1 hal. 193;
0
Artikel ini dicetak
dari Hizbut Tahrir Indonesia: http://hizbut-tahrir.or.id
URL to article: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/01/dalil-mendirikan-negaraberdasarkan-
syariah-islam/