Click here for Myspace Layouts
Powered By Blogger

Senin, 31 Oktober 2011

Dalil Mendirikan Negara Berdasarkan Syariah Islam


Posted By farid On 01 Oct 2008 @ 01:55 In Shari'ah | 1 Comment
Salah alasan yang sering dilontarkan oleh segelintir kelompok yang dikenal liberal
menolak penerapan syariah Islam oleh negara adalah bahwa tidak ada dalil yang
mewajibkan mendirikan negara. Bagaimana menjawab pertanyaan ini ?
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Quran
dan hadits-hadits nabi saw digunakan dua pendekatan. Pertama, memahami
pengertian secara tersurat, secara langsung dari lafazh-lafazh al-Quran maupun as-
Sunah. Ini yang sering dikatakan sebagai pengertian secara harfiah. Sedangkan para
ulama menyebutnya sebagai manthûq. Yakni pengertian tersurat, pengertian yang
langsung dipahami dari lafazh (kata) atau dari bentuk lafazh yang terkandung dalam
nash. Kedua, pengertian secara tersirat. Yaitu pengertian yang dipahami bukan dari
lafazh atau bentuk lafazh secara langsung, tetapi dipahami melalui penafsiran secara
logis dari petunjuk atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang
dinyatakan dalam nash. Kita sering menyebutnya sebagai pengertian kontekstual.
Sedang para ulama menyebutnya dengan istilah mafhûm. Makna ini merupakan akibat
(konsekuensi) logis makna yang dipahami secara langsung dari lafazh. Makna ini
menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung. Artinya makna ini menjadi keharusan
atau tuntutan makna lafazh. Dan para ulama menyebutnya sebagai dalâlah al-iltizâm.
Dalâlah al-iltizâm ini dapat dibagi menjadi : dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah tanbîh wa alimâ’,
dalâlah isyârah dam dalâlah al-mafhûm yang terdiri dari mafhûm muwâfaqah dan
mafhûm mukhâlafah (pengertian berkebalikan). Namun perlu diingat bahwa
pengambilan pengertian dari nash syara’ baik secara manthuq maupun secara mafhum
tidak boleh keluar dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab.
Dengan menggunakan dua pendekatan ini maka kita akan mendapati bahwa al-Quran
dan as-Sunnah serta didukung oleh Ijma’ Sahabat telah mewajibkan kita mendirikan
pemerintahan atau negara. Dalil-dalil serta penarikan argumentasi wajibnya kita
mendirikan negara/pemerintahan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah Swt telah memerintahkan kita untuk menaati ulil amri. Allah Swt
berfirman :
يَاأَيُّھَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا للهََّ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. (TQS. an-Nisâ’ [04]: 59)
Ibn Athiyah menyatakan bahawa ayat ini merupakan perintah untuk menaati Allah,
Rasul-Nya dan para penguasa. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama: Abu
Hurairah, Ibn ‘Abbas, Ibn Zaid dan lain-lain.[1]
Lebih jauh ayat ini juga memerintahkan kita untuk mewujudkan penguasa yang kita
wajib mentaatinya. Semua yang dinyatakan oleh Allah adalah benar. Allah Swt juga
tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mungkin kita
laksanakan. Kewajiban menaati ulil amri itu akan bisa kita laksanakan jika sosok ulil
amri itu wujud (ada). Jika tidak ada, maka tidak bisa. Padahal, itu adalah kewajiban
dan tidak mungkin Allah salah memberikan kewajiban. Maka sebagai konsekuensi
kebenaran pernyataan Allah itu, maka sesuai ketentuan dalâlah al-iltizâm, perintah
menaati ulil amri juga merupakan perintah mewujudkan ulil amri sehingga kewajiban itu
bisa kita laksanakan. Maka ayat tersebut juga bermakna, realisasikan atau angkatlah
ulil amri diantara kalian dan taatilah ia. Yang dimaksud ulil amri dalam ayat ini adalah
penguasa.
Kedua, Allah memerintahkan untuk menerapkan syariat Islam. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُھَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَھُمْ بِمَا

أَنْزَلَ للهَُّ وَلاَ تَتَّبِعْ أَھْوَاءَھُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]:
48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَھُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ وَلاَ تَتَّبِعْ أَھْوَاءَھُمْ وَاحْذَرْھُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ
للهَُّ إِلَيْكَ
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 49)
Kedua ayat di atas secara tersurat memerintahkan Rasul untuk menghukumi
(memerintah) dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Kata mâ anzala Allâh, kata mâ
ini merupakan lafazh umum makna ayat tersebut adalah hukumi (perintahlah) mereka
sesuai dengan apa saja yang diturunkan oleh Allah kepadamu wahai Muhammad dan
jangan kamu mengikuti yang lain. Karena yang lain itu berasal dari hawa nafsu yang
hanya akan menyebabkanmu menyimpang dari apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu.
Sekalipun mukhathab (orang yang diseru) secara langsung dalam ayat ini adalah
Rasul, namun seruan ini juga merupakan seruan bagi kita, umat Rasul, karena kaedah
syara’ mengatakan
[ خِطَابُ الرَّسُوْلِ خِطَابٌ لأُمَّتِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ ]
Seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya selama tidak datang dalil
yang mengkhususkan kepadanya [2]
Sementara tidak ada satu dalil pun yang mengkhususkan seruan itu hanya bagi rasul.
Oleh karenanya, seruan dalam kedua ayat di atas juga merupakan seruan kepada
kita.
Kemudian terhadap perintah di atas datang berbagai qarinah (indikasi) yang
mengindikasikan bahwa perintah tersebut sifatnya adalah tegas. Indikasi-indikasi
tersebut adalah firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang zalim (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 47)
Disifatinya orang yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan oleh Allah
(syariat Islam) sebagai orang zalim, fasik atau kafir, menunjukkan adanya celaan
atasnya. Jika perintah melakukan sesuatu, lalu orang yang tidak melakukannya
mendapat celaan, maka itu menunjukkan bahwa perintah tersebut sifatnya tegas



yakni wajib. Dengan demikian perintah Allah untuk menghukumi manusia menggunakan
apa-apa yang diturunkan oleh Allah yakni dengan syariat Islam adalah wajib.
Disamping itu banyak nash yang menjelaskan hukum-hukum rinci baik dalam masalah
jihad, perang dan hubungan luar negeri; masalah pidana seperti hukum potong tangan
bagi pencuri, qishash bagi pembunuh, jilid atau rajam bagi orang yang berzina, jilid
bagi qadzaf (menuduh seseorang berzina dan tidak bisa mendatangkan empat orang
saksi) dan sebagainya; hukum masalah muamalah semisal jual beli, utang piutang,
pernikahan, waris, persengketaan harta, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib kita
laksanakan.
Hukum-hukum itu tentu saja tidak bisa dilaksanakan secara individual. Akan tetapi
sudah menjadi pengetahuan bersama dan tidak ada satu orangpun yang
memungkirinya, bahwa penerapan hukum-hukum itu hanya melalui institusi negara dan
dilaksanakan oleh penguasa. Jadi pelaksanaan berbagai kewajiban itu yaitu kewajiban
menghukumi segala sesuatu dengan syariat Allah itu hanya akan sempur bisa kita
laksanakan jika ada negara dan penguasa yang mengadopsi dan menerapkannya.
Berdasarkan kaedah
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَھُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
menjadi wajib [3]
Kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya negara dan penguasa yang bertindak sebagai pelaksana (munaffidz),
maka mewujudkan negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu menjadi
wajib.
Dari sejumlah nash di atas menjadi jelas bahwa kita diperintahkan untuk mendirikan
negara dan mengangkat penguasa. Hal itu merupakan kewajiban, Juga jelas bahwa
negara dan penguasa yang wajib kita wujudkan itu bukan sembarang negara dan
sembarang penguasa. Akan tetapi negara yang wajib kita wujudkan itu adalah negara
yang menerapkan hukum-hukum Allah. Karena pendirian negara itu adalah dalam
rangka melaksanakan kewajiban menghukumi segala sesuai dengan hukum-hukum
Allah. Sedangkan penguasa yang wajib kita angkat melihat dari nash-nash diatas
haruslah berasal dari kalangan kita yakni kaum muslim karena dalam QS. an-Nisa ayat
59 itu disebutkan minkum (dari kalian), sementara kalian yang dimaksud adalah kaum
mukmin. Dan sifat yang kedua adalah bahwa penguasa itu kita angkat untuk
menerapkan hukum-hukum Islam. Karena ia kita angkat dalam rangka melaksanakan
kewajiban menghukumi sesuai hukum Allah. Semua ini menegaskan kepada kita bahwa
metode satu-satunya untuk menerapkan Islam secara total adalah negara (daulah).

[1] Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajîz, juz iv, hal. 158
[2] An-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III (ushul Fiqh), min Mansyûrât Hizb at-
Tahrîr, Al-Quds. Cet. II hal. 242.
[3] Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm-il Ushûl, juz 1 hal. 71; Al-Banani, Hâsyiyah al-
Banâni, juz 1 hal. 193;
0
Artikel ini dicetak dari Hizbut Tahrir Indonesia: http://hizbut-tahrir.or.id
URL to article: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/01/dalil-mendirikan-negaraberdasarkan-
syariah-islam/
read more “Dalil Mendirikan Negara Berdasarkan Syariah Islam”

Senin, 24 Oktober 2011

Kekejaman Perang Dunia I


Di Eropa abad ke-19, penjajahan tersebar luas. Kekuatan bangsa Eropa seperti Inggris dan Prancis telah membangun kekuasaan penjajahan di keempat penjuru dunia. Jerman, yang telah membangun kesatuan politiknya lebih lama daripada negara-negara lain, bekerja keras untuk menjadi pelopor dalam perlombaan ini.
Pada awal abad ke-20, hubungan yang didasarkan pada kepentingan telah membagi Eropa menjadi dua kutub yang berlawanan. Inggris, Prancis, dan Rusia berada di satu pihak, dan Jerman beserta Kekaisaran Austria-Hungaria yang diperintah oleh keluarga Hapsburg asal Jerman berada di pihak lainnya.
Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin hari semakin meningkat, hingga akhirnya suatu pembunuhan pada tahun 1914 menjadi pemicu perang. Pangeran Franz Ferdinand, pewaris tahta Kekaisaran Austria-Hungaria, dibunuh oleh kaum nasionalis Serbia yang berusaha menekan pengaruh kekaisaran tersebut di daerah Balkan.
Dalam kurun waktu yang amat singkat, hasutan setelah peristiwa ini menyeret seluruh benua Eropa ke dalam kancah peperangan. Pertama, Austria-Hungaria menyatakan perang kepada Serbia. Rusia, sekutu abadi bangsa Serbia kemudian menyatakan perang terhadap Austria-Hungaria.
Lalu satu demi satu, Jerman, Inggris, dan Prancis, memasuki peperangan. Sumbu sudah dinyalakan.
Bahkan sebelum perang dimulai, Dewan Jenderal Jerman telah membuat rencana dan memutuskan untuk menguasai Prancis melalui serangan mendadak. Untuk mencapai tujuan ini, orang-orang Jerman memasuki Belgia dan kemudian melintasi perbatasan memasuki Prancis. Menanggapi dengan cepat, pasukan Prancis menghentikan pasukan Jerman di tepi Sungai Marne dan memulai suatu serangan balik.
Walaupun kedua pasukan menderita kerugian parah, tidak ada kemajuan di garis depan pertempuran. Baik serdadu Prancis maupun Jerman bersembunyi di parit untuk melindungi diri. Akibat serangkaian serangan yang berlarut-larut hingga beberapa bulan, sekitar 400.000 serdadu Prancis terbunuh. Korban meninggal dari serdadu Jerman mencapai 350.000.
Perang parit menjadi strategi utama Perang Dunia Pertama. Selama beberapa tahun berikutnya, bisa dikatakan para serdadu hidup dalam parit-parit ini. Kehidupan di sana benar-benar sulit. Para prajurit hidup dalam ancaman terus-menerus dibom, dan mereka tak henti-hentinya menghadapi ketakutan dan ketegangan yang luar biasa. Mayat mereka yang telah tewas terpaksa dibiarkan di tempat-tempat ini, dan para serdadu harus tidur di samping mayat-mayat tersebut. Bila turun hujan, parit-parit itu dibanjiri lumpur.
Lebih dari 20 juta serdadu yang bertempur di Perang Dunia I mengalami keadaan yang mengerikan di dalam parit-parit ini, dan sebagian besar meninggal di sana.
Dalam beberapa minggu setelah dimulai oleh serangan Jerman pada tahun 1914, garis barat perang ini sebenarnya terpaku di jalan buntu.
Para serdadu yang bersembunyi di parit-parit ini terjebak dalam jarak yang hanya beberapa ratus meter jauhnya satu sama lain. Setiap serangan yang dilancarkan sebagai upaya mengakhiri kebuntuan ini malah menelan korban jiwa yang lebih banyak.
Di awal tahun 1916, Jerman mengembangkan rencana baru untuk mendobrak garis barat. Rencana mereka adalah secara mendadak menyerang kota Verdun, yang dianggap sebagai kebanggaan orang Prancis. Tujuan penyerangan ini bukanlah memenangkan perang, melainkan menimbulkan kerugian yang besar di pihak Tentara Prancis sehingga melemahkan perlawanan mereka. Kepala staf Jerman Falkenhayn memperkirakan bahwa setiap satu serdadu Jerman saja dapat membunuh tiga orang serdadu Prancis.
Serangan dimulai pada tanggal 21 Febuari. Para pemimpin Jerman memerintahkan serdadunya untuk "keluar dari parit mereka," namun tiap serdadu yang melakukannya justru telah tewas atau sekarat dalam sekitar tiga menit. Meskipun penyerangan berlangsung tanpa henti selama berbulan-bulan, Jerman gagal menduduki Verdun.
Secara keseluruhan, kedua pihak kehilangan sekitar satu juta serdadu. Dan dengan pengorbanan itu, garis depan hanya berhasil maju sekitar 12 kilometer. Satu juta orang mati demi selusin kilometer.
Inggris membalas serangan Jerman di Verdun dengan Pertempuran Somme. Pabrik-pabrik di Inggris membuat ratusan ribu selongsong meriam.
Rencana Jendral Douglas Haig mendorong Pasukan Inggris untuk menghujani dengan pengeboman terus-menerus selama seminggu penuh, yang diikuti dengan serangan infanteri. Dia yakin mereka akan maju sejauh 14 kilometer di hari pertama saja dan kemudian menghancurkan semua garis pertahanan Jerman dalam satu minggu.
Serangan dimulai pada tanggal 1 Juni. Pasukan meriam Inggris menggempur pertahanan Jerman selama seminggu tanpa henti. Di akhir minggu tersebut, para perwira Inggris memerintahkan serdadunya memanjat keluar dari parit. Namun, selama pengeboman tersebut para serdadu Jerman berlindung dengan rapat di kedalaman parit persembunyian mereka sehingga tidak terlumpuhkan dan menggagalkan rencana Inggris. Begitu serdadu Inggris bergerak melintasi garis depan, serdadu Jerman muncul menyerang mereka dengan senapan mesinnya. Sejumlah total 20.000 serdadu Inggris tewas dalam beberapa jam pertama perang tersebut. Di dalam kegelapan malam itu, daerah di antara dua garis pertempuran penuh dengan puluhan ribu mayat dan juga serdadu yang terluka, yang mencoba merangkak mundur.
Pertempuran Somme tidak berlangsung dua minggu seperti yang direncanakan Jendral Haig, melainkan lima bulan. Bulan-bulan ini tidak lebih daripada pembantaian. Para jendral bertubi-tubi mengirimkan gelombang demi gelombang serdadu mereka menuju kematian yang telah pasti. Di akhir pertempuran, kedua belah pihak secara keseluruhan telah kehilangan 900.000 prajuritnya. Dan untuk ini, garis depan bergeser hanya 11 kilometer. Para serdadu ini dikorbankan demi 11 kilometer saja.
Kedua belah pihak melakukan lebih banyak serangan lagi selama Perang Dunia I, dan setiap serangan ini menjadi pembantaian diri sendiri. Di kota Ipres di Belgia saja, berlangsung tiga pertempuran. Setengah juta serdadu tewas di pertempuran ketiga saja.
Setiap serangan berakibat sama: Ribuan nyawa melayang hanya untuk maju beberapa kilometer.
Peperangan yang mengerikan ini, yang tidak punya alasan kuat, menelan nyawa orang tak bersalah yang tak terhitung banyaknya. Banyak orang kehilangan saudaranya atau harus meninggalkan rumahnya.
Penyebab utama di balik malapetaka masyarakat ini adalah ambisi politik dan kepentingan kalangan dengan paham tertentu. Membuat kerusakan, yang disebabkan oleh cita-cita duniawi orang yang mengingkari Allah, dilarang di dalam Al Quran. Allah melarang manusia menyebabkan kerusakan di muka bumi:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-A’raf: 56)
read more “Kekejaman Perang Dunia I”

Kamis, 19 Mei 2011

DEMOKRASI BUKAN JALAN PERUBAHAN HAKIKI

Kondisi negeri ini meski sudah merdeka dari penjajahan fisik selama lebih dari 63 tahun hingga kini belum juga sampai pada kemakmuran dan kesejahtraan untuk rakyat seutuhnya. Sekalipun reformasi sudah berjalan sepuluh tahun kondisi kehidupan rakyat belum juga membaik. Angka kemiskinan masih juga tinggi. Menurut data BPS, anggka kemisikinan pada Maret 2008 sebesar 34,97 juta jiwa. Menurut Menkoinfo, jumlah penduduk miskin pada maret 2009 sebesar 33,714 juta jiwa dengan tingkat inflasi 9% (Beritaglobal.com).


Reformasi yang digadang-gadang bisa membawa perubahan mendasar dan luas pada kehidupan negeri ini ternyata juga tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Hal itu karena reformasi tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan paska reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan. Bila sebelum reformasi tatanan negara ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi dan sebagainya. Lebih menyedihkan lagi sumber-sumber kekayaan negeri ini yang semestinya di peruntukan bagi kesejahtraan rakyat justru berpindah ke dalam cengkraman asing. Aroma pengaruh kekuatan asingpun masih terasa kental di negeri ini. Alhasil, upaya memerdekakan negeri ini secara hakiki belum juga berhasil meski sudah lepas dari penjajahan fisik lebih dari 63 tahun.
Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun telah berhasil menjadikan negeri ini makin demokratis. Bahkan sekarang negeri ini dianggap sebagai negara demokratis terbesar ke tiga di dunia setelah AS dan India. Meski demikian, nyata proses demokrasi yang makin demokatis itu tidak korelatif dengan peningkatan kesejahtraan dan kehidupan rakyat yang baik. Padahal demokrasi dan proses demokrasi dianggap menawarkan perubahan kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Fakta menunjukan tawaran itu seperti pepesan kosong alias bohong.
Sekarang ditengah eforia proses demokrasi (pemilu}, perubahan kembali di gantungkan pada proses demokrasi. Hampir semua partai politik peserta pemilu 2009 menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Janji itu tergambar saat deklarasi kampanye damai yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Senin (16/3), yang dihadiri para pemimpin partai dan pendukungnya. Sejak tanggal tersebut hingga jelang masa tenang sebelum Pemilu (9 April 2009), rakyat akan disuguhi berbagai celotehan janji dan mimpi tenteng perubahan dengan berbagaimacam redaksi dan visualisasi. Apakah benar Pemilu yang kesepuluh kalinya ini akan benar-benar bisa mewujudkan perubahan? Benarkah demokrasi (dengan pemilunya) bisa menjadi jalan perubahan?
Jika yang dimaksud adalah perubahan sekedar perubahan, jelas demokrasi menjanjikan itu. Bahkan dalam demokrasi bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena sistem dan aturan penentuannya diserahkan pada selera akal manusia, sementara selera akal selaru berubah dari waktu ke waktu. Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke depan bisa dinila sebagai madarat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kepentingan (ego). Artinya, perubahan yang ditawarkan oleh demokrasi itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang akan terjadi. Disinilah masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat siasumsikan terwakili oleh satu orang wakil. Tentu saja ini adalah sesuatu hal yang yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Pada faktanya suara wakil itu lebih memncerminkan suara dan kepentingannya sendiri. Bahkan fakta menunjukan lebih sering justru kepentingan pihak lain yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat itu sendiri dan kelompoknya. Hal ini karena demokrasi itu dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinisiatif melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan sangat menentukan. Ironisnya semua itu selalu diatas namakan suara dan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan yang terjadi. Jadi demokrasi memang menjadikan perubahan tetapi bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan aktor-aktor demokrasi dan para pemodal mereka.
Lebih dari itu, seandainya dengan demokrasi itu tercipta kondisi yang baik yang sepenuhnya memihak kepentingan rakyat miskin ini selalu saja masih menggantung jadi mimpi demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung. Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah yang belum tentu menjadi lebih baik. Hal itu karena wakil rakyat dan pemimpin yang baik yang terpilih melalui proses demokrasi itu harus dipilih ulang. Pemimpin yang baik itu dibatasi jangka waktunya dan harus diganti ketika sudah habis. Bahkan setelah jangka waktu tertentu ia tidak boleh dipilih kembali. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik-Kapitalis akan bisa menjadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini. Hal itu menunjukan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki.
Hal itu wajar karena demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan. Lebih dari itu, demokrasi sebagai sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan ada hak membuat hukum. Itu artinya demokrasi menjadikan rakyat riilnya adalah wakil-wakil rakyat sebagai pembuat hukum. Sebaliknya dalam Islam membuat dan menentukan hukum itu adalah hak Allah SWT. Artinya dalam Islam hanya Syara’ yang berhak membuat hukum.
Allah telah menjelaskan bahwa hanya Islamlah sistem yang bisa menawarkan kehidupan kepada umat manusia. Hanya Islamlah yang bisa membawa manusia menuju cahaya, sementara sistem selain Islam justru mengeluarkan mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan. Allah SWT menegaskan hal itu dalam firman-Nya :
Allah pelindung orang-orang yang beriman; di mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). (QS. al-Baqarah ; 257)
read more “DEMOKRASI BUKAN JALAN PERUBAHAN HAKIKI”

Selasa, 17 Mei 2011

Dampak Kebodohan terhadap Pokok Syariah

Pasal ini mencakup dua pokok bahasan: dalil-dalil hukum syara dan ketentuan agama yang sudah diketahui secara umum.

Berikut pembahasan mengenai kedua pokok bahasan tersebut.

Dalil-Dalil Hukum Syara

Bahasan ini secara khusus akan membicarakan orang-orang yang mesti mengkaji dalil syara dan bagaimana cara menerapkannya. Mereka itu adalah para ulama dan orang-orang yang berjalan menuju pintu gerbang mereka, yaitu para penuntut ilmu. Adapun orang-orang awam tidak diwajibkan untuk melakukan hal tersebut, kecuali jika menghendaki kebaikan dan keutamaan.

Tidak diragukan lagi bahwa bagi setiap orang diwajibkan beriman terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. walaupun dengan keimanan yang bersifat umum dan global. Demikian juga tidak diragukan lagi bahwa mengetahui apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. secara rinci (detail) termasuk fardu kifayah. Karena, hal itu mencakup penyampaian sesuatu yang telah diembankan oleh Allah kepada Rasul-Nya, yang mencakup merenungkan, memikirkan, memahamkan, dan mempraktikan Alquran.

Adapun sesuatu yang termasuk dalam perkara fardu ain atas orang-orang beriman, maka kewajiban tersebut bermacam-macam sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, pengetahuan, dan apa yang diperintahkan kepada mereka masing-masing. Sehingga, tidak diwajibkan bagi orang yang tidak mampu mendengarkan sebagian ilmu atau pengetahuan yang sangat mendalam untuk melakukan sesuatu sesuatu seperti yang diwajibkan kepada orang yang mampu melakukannya. Tetapi, wajib bagi orang yang mendengar nas dan memahaminya secara detail untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada orang yang tidak mendengarnya, serta wajib bagi seorang mufti (pemberi fatwa), ahli hadis, dan ahli hikmah untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada orang selain mereka.

Perlu dipahami bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dalam menyimpulkan dan mengambil ketetapan berbagai hukum tidak mustahil terjadi kesalahan pada sebahagiannya, baik disadari ataupun tidak. Hal itu merupakan tabiat yang melekat pada diri manusia. Hal ini telah dikemukakan oleh para imam yang telah menjelaskan hal ini dengan sangat gambling ketika melarang taklid kepada mereka, karena dikhawatirkan orang yang bertaklid mengikuti kesalahan yang telah dilakukan oleh mereka, sebagaimana telah diriwayatkan dari Imam Malik rhm. seraya berkata, "Aku ini hanyalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku, jika ada pendapatku yang bertentangan dengan Alquran dan sunah, tinggalkanlah olehmu." Imam Ahmad rhm. Berkata, "Janganlah kami bertaklid dalam urusan agamamu kepada orang-orang, karena mereka itu tidak selamat dari kesalahan."

Ketidaktahuan seorang ulama terhadap suatu dalil bukanlah merupakan hal yang mustahil untuk mendapat celaan dalam setiap keadaan, karena hal ini dapat menjadi sebab yang menimbulkan pertentangan dan kesesatan. Ibnu Taimiyah rhm. Berkata, "Sebagaimana hal ini telah disinyalir oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya, "Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (Al-Ahzaab: 72).

Ketidaktahuan terhadap dalil-dalil yang dapat menimbulkan pertentangan dan kesesatan dapat dibagi menjadi dua: pertama, tidak adanya ilmu pengetahuan yang memadai tentang suatu dalil.
Ibnu Abi al-Izz rhm. Berkata, "Kekurangan yang terjadi pada kebanyakan orang yang berkenaan dengan apa yang dibawa Rasulullah saw. adalah tidak adanya ilmu pengetahuan yang memadai tentang apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan keyakinan, ibadah, dan pemerintahan (politik) atau yang berkenaan dengan syariat yang beliau bawa, kecuali hanya berdasarkan prasangka mereka dan taklid dalam perkara yang sebenarnya bukan berasal dari syariat Rasulullah saw., dan mereka mengeluarkannya lebih banyak dari apa yang mereka dapatkan dari syariat. Karena, sebab kebodohan, kesesatan, kelalaian, rasa permusuhan, kemunafikan, dan kebanyakan mereka belajar ilmu yang terdapat pada risalah."

Ibnu Taimiyah rhm. Berkata, "Karena sebab kebodohan orang-orang bertentangan dengan hakikat sesuatu. Sehingga, timbullah perselisihan di antara mereka dalam hal tersebut, atau karena ketidaktahuan tentang suatu dalil, sehingga salah satu di antara keduanya menunjukkan yang lain kepada dalil tersebut, atau kerena kebodohan salah satunya terhadap kebenaran yang dimiliki oleh yang lain dalam suatu hukum atau dalil."

Kedua, tidak memahami dalil berdasarkan ilmu yang sesuai dengan dalil tersebut. Ibnu Taimiyah telah mengemukakan dalil yang menunjukkan hal tersebut, walaupun Imam Ibnu Abi al-Izz telah menjelaskannya secara gambling dalam perkataannya, "Buruknya pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya merupakan sumber setiap bidah dan kesesatan yang timbul dalam agama Islam, dan merupakan sumber setiap kesalahan, baik dalam furu' (cabang) maupun ushul (pokok), terlebih bila disandarkan kepada tujuan yang jelek."

Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah SWT yang artinya, "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat kepadanya, kemudian mereka tiada memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." (Al-Jumu'ah: 5).

Mereka menghafal kitab-kitab yang tebal di dalam akal mereka tanpa memahami pengertiannya atau mengetahui maksud yang disampaikan. Sehingga, di antara mereka ada orang-orang yang merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan yang merupakan maksud dan tujuan dari kitab-kitab tersebut. Oleh karena itu, bagi mereka sama saja antara lafaz dan maknanya, sehingga mereka tidak memperoleh hikmahnya. Karena itu, mereka hanya menjadi periwayat berita bukan ulama yang saleh yang berpengetahuan. Di antara mereka juga terdapat orang-orang yang hanya menghafal lafaznya, mengenal syakal (tanda bacanya) dan meriwayatkannya, tetapi tidak mengerti kandungannya, padahal tidak ada suatu dilalah atau lafaz kecuali hal itu menunjukkan makna yang dikehendaki oleh lafaz tersebut. Perbuatan mereka semacam ini telah meruntuhkan syariat, sementara mereka menganggap perbuatan itu baik.

Pandangan semacam ini telah menyesatkan beberapa golongan. Apakah Anda tidak melihat bagaimana golongan Khawarij keluar dari agama secepat melesatnya anak panah yang dibidikkan kepada binatang buruan? Rasulullah saw. telah menggambarkan mereka bahwa mereka membaca Alquran, tetapi bacaan tersebut tidak melewati tulang tenggorokannya (yakni hanya Allah Yang Maha Mengetahui), mereka tidak mengerti kandungan Alquran yang semestinya tembus ke dalam hati.

Adapun aliran Zhahiriyyah (yang melihat segi lahiriah semata) berpegang teguh pada nas, hingga mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh lafaz. Padahal, dalam syariat ini terdapat maksud dan pengertian yang memberikan kemaslahatan dan menolak kerusakan secara sempurna. Mereka mengabaikan makna-maknanya karena lebih mendahulukan lafaz-lafaznya.

Sementara, kaum rasionalis (Muktazilah dan lainnya yang sama dengan mereka) termasuk golongan yang lebih mementingkan akal dan mereka menetapkan hukum berdasarkan akal, sehingga mereka termasuk kalangan rasionalis yang tercela karena telah menyepelekan ketentuan syariat dan menempatkan akal lebih tinggi dari syariat, akibatnya syariat diposisikan sebagai pengikut bukan yang diikuti.

Seandainya seorang ulama terjebak dalam suatu kebodohan dalam dua hal tersebut atau salah satunya, tetapi mempunya niat dan tujuan yang baik, maka wajib atasnya melakukan pembahasan yang lebih mendalam, penelitian yang lebih saksama, dan ijtihad yang lebih sempurna tentang apa yang diajarkan Rasulullah saw. Dengan demikian, dia dapat mengetahui, meyakini, dan mengamalkannya secara lahir dan batin.

Seandainya seseorang merasa tidak mampu mengetahui sebagiannya atau mengamalkannya, maka ketidakmampuannya itu tidak boleh menjadi penghalang untuk mengamalkan ajaran Rasulullah saw. Tetapi, dia mesti gembira dengan kemampuan orang lain untuk melaksanakannya, dan menerimanya dengan penuh kerelaan, dan dia harus mencintai orang tersebut, tidak boleh mengimani sebagian dan mengingkari sebagian, dia harus beriman secara utuh menyeluruh, serta menjaga dari masuknya hal-hal yang bukan bagian darinya, seperti riwayat atau pendapat, serta tidak meyakini atau mengamalkan sesuatu yang tidak berasal dari Allah Subhanahu wa Taala. Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu menyembunyikan yang hak padahal kamu mengetahui." (Al Baqarah: 42). Inilah jalan yang ditempuh oleh as-sabiqun al-awwalun (para pendahulu pertama) yakni generasi sahabat, lalu diikuti oleh tabi'in kemudian tabi' tabi'in serta orang-orang yang mengikuti langkah mereka.

Tetapi, apabila niatnya rusak dan tujuannya menyimpang, seorang ulama tidak dapat menjadikan ilmunya sebagai perantara untuk memperoleh manfaat di dunia maupun rida Allah. Dia termasuk orang yang menyimpang sehingga ilmunya mengarahkannya pada jurang kemunafikan, mencari muka, rida akan kehinaan, serta menjual agama demi dunia. Dengan demikian, ia termasuk orang yang bodoh. Hanya kepada Allah semata kita memohon pertolongan dan perlindungan.

Sumber: Al-Madkhal li Diraasat al-Aqidah al-Islamiyyah 'ala Madzhabi Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah, Dr. Ibrahim bin Muhamad bin Abdullah al-Buraikan

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

komen:
kewajiban kita sat ini adalah menyadarkan ummat bahwa sesungguh nya menegakan syariah itu wajib..

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung." QS. Aliimron 104
read more “Dampak Kebodohan terhadap Pokok Syariah”

Senin, 16 Mei 2011

Teori Evolusi

Informasi yang telah disampaikan sejauh ini menunjukkan bahwa teori evolusi tidak memiliki dasar ilmiah, tetapi sebaliknya, pernyataan-pernyataan evolusi bertentangan dengan temuan-temuan ilmiah. Dengan kata lain, kekuatan yang menyokong evolusi bukanlah ilmu pengetahuan. Evolusi memang dibela oleh beberapa "ilmuwan", tetapi pasti ada kekuatan lain yang berperan. Kekuatan ini adalah filsafat materialis.

Filsafat materialis merupakan salah satu sistem pemikiran tertua dalam sejarah manusia. Karakteristiknya yang paling mendasar adalah anggapan bahwa materi itu absolut. Menurut filsafat ini, materi tidak terbatas (infinite), dan segala sesuatu terdiri dari materi, dan hanya materi. Pendekatan ini menutup kemungkinan terhadap kepercayaan kepada Pencipta. Oleh sebab itu, materialisme sejak lama memusuhi agama-agama yang memiliki keyakinan terhadap Allah.

Jadi, pertanyaannya sekarang adalah apakah cara pandang materialis itu benar? Untuk mengujinya, kita harus menyelidiki pernyataan-pernyataan filsafat tersebut yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Misalnya, seorang filsuf abad ke-10 dapat mengatakan bahwa ada pohon keramat di permukaan bulan, dan semua makhluk hidup tumbuh seperti buah pada cabang-cabangnya, lalu jatuh ke bumi. Sebagian orang mungkin menganggap filsafat ini menarik dan mempercayainya. Namun, pada abad ke-20, ketika manusia telah sampai ke bulan, filssafat semacam ini tidak mungkin dikemukakan. Ada atau tidaknya pohon semacam itu di sana dapat ditentukan dengan metode-metode ilmiah, yaitu dengan pengamatan dan eksperimen.

Dengan metode ilmiah, kita dapat menyelidiki pernyataan materialis bahwa materi itu abadi, dan materi ini dapat mengorganisasi diri tanpa memerlukan Pencipta serta mampu memunculkan kehidupan. Namun, sejak awal kita melihat bahwa materialisme telah runtuh karena gagasan tentang kekekalan materi telah dihancurkan oleh teori Dentuman Besar (Big Bang), yang menunjukkan bahwa jagat raya diciptakan dari ketiadaan. Peryataan bahwa materi dapat mengorganisasi diri dan memunculkan kehidupan adalah pernyataan "teori evolusi"--teori yang telah dibahas oleh buku ini dan ditunjukkan keruntuhannya.

Akan tetapi, jika seseorang berkeras mempercayai materialisme dan mendahulukan kesetiaan pada paham ini daripada hal-hal lainnya, ia tidak akan menggunakan metode ilmiah. Jika orang tersebut "mendahulukan meterialismemya daripada keilmuwannya", ia tidak akan meninggalkan materialisme sekalipun tahu bahwa konsep evolusi tidak diakui ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia berusaha menegakkan dan menyelamatkan paham ini dengan mendukung konsep evolusi apa pun yang terjadi. Inilah keadaan sulit yang dihadapi evolusionis.

Yang menarik, ternyata mereka pun mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Ahli genetika evolusionis terkenal dari universitas Harvard, Richard C. Lewontin, mengakui bahwa dia "materialis dulu baru ilmuwan" dengan kata-kata berikut, "Bukan metode dan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong kami menerima penjelasan material tentang dunia yang fenomenal ini. Sebaliknya, kami dipaksa oleh keyakinan apriori kami terhadap prinsip-pronsip material untuk menciptakan perangkat penyelidikan dan serangkaian konsep yang menghasilkan penjelasan material, betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan orang-orang yang tidak berpengetahuan. Lagi pula, materialisme itu absolut, jadi kami tidak bisa membiarkana Kaki Tuhan masuk."

Istilah "apriori" yang digunakan Lewontin ini sangat penting. Istilah filosofis ini merujuk pada praduga tanpa dasar pengetahuan eksperimental. Sebuah pemikiran dikatakan "apriori" jika Anda menganggapnya benar dan menerimanya, meskipun tidak ada informasi tentang kebenaran pemikiran tersebut. Seperti yang diungkapkan Lewontin secara jujur, materialisme adalah sebuah "apriori" yang memang disediakan bagi evolusionis dan mereka mencoba menyesuaikan ilmu pengetahuan dengannya. Karena materialisme mengharuskan pengingkaran akan keberadaan Pencipta, mereka memilih satu-satunya alternatif yang mereka miliki, yaitu teori evolusi. Mereka tidak peduli jika evolusi telah menyimpang dari fakta-fakta ilmiah. Ilmuwan seperti mereka telah menerima "apriori" sebagai kebenaran.

Sikap berprasangka ini membawa evolusionis kepada keyakinan bahwa "materi yang tak berkesadaran telah membentuk diri sendiri", yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan juga akal sehat. Profesor kimia yang juga pakar DNA dari universitas New York, Robert Shapiro, seperti telah dikutip sebelumnya, menjelaskan keyakinan evolusionis dan dogma materialis ini sebagai berikut, "Maka diperlukan prinsip evolusi lain untuk menjembatani antara campuran-campuran kimia alami sederhana dengan replikator efektif pertama. Prinsip ini belum dijelaskan secara terperinci ataupun didemonstrasikan, namun telah diantisipasi dan diberi nama evolusi kimia dan pengorganisasian materi secara mandiri. Keberadaan prinsip ini diterima sebagai keyakinan dalam filsafah materialisme dialektis, sebagaimana diterapkan pada asal-usul kehidupan oleh Alexander Oparin."


Propaganda evolusionis yang selalu kita temui dalam media terkemuka di Barat serta majalah-majalah ilmu pengetahuan terkenal dan bergengsi muncul dari keharusan ideologis ini. Karena dirasa sangat diperlukan, evolusi dikeramatkan oleh kalangan yang menetapkan standar-standar ilmu pengetahuan.

Demi menjaga reputasi, beberapa ilmuwan terpaksa mempertahankan teori yang berlebihan ini, atau setidaknya berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang bertentangan dengannya. Akademisi di negara-negara Barat diharuskan menerbitkan artikel mereka di majalah-majalah ilmu pengetahuan tertentu untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi "keprofesoran". Semua majalah yang berhubungan dengan biologi dikendalikan oleh evolusionis, dan mereka tidak mengizinkan artikel antievolusi muncul di majalah mereka. Karena itu, setiap ahli biologi harus melakukan studinya di bawah dominasi teori evolusi sebagai keharusan ideologis. Itulah sebabnya mereka secara buta membela "kebetulan-kebetulan mustahil" yang telah kita bicarakan sejauh ini.

Pengakuan-Pengakuan Materialis

Pernyataan ahli biologi evolusionis terkenal dari Jerman, Hoimar von Dithfurt, merupakan contoh nyata pemahaman materialis yang fanatik. Setelah mengutarakan contoh susunan kehidupan yang sangat kompleks, selanjutnya ia mengungkapkan kemungkinan kehidupan muncul secara kebetulan, "Mungkinkah keserasian seperti itu terjadi secara kebetulan? Inilah pertanyaan mendasar dari keseluruhan evolusi biologis. Menjawabnya dengan "ya, mungkin" berarti membuktikan kesetiaan pada ilmu alam modern. Secera kritis dapat dikatakan, mereka yang menerima ilmu alam modern tidak mempunyai pilihan selain mengatakan "ya", karena dengan ini dia akan dapat menjelaskan fenomena alam melalui cara-cara yang mudah dipahami dan merujuk pada hukum-hukum alam tanpa menyertakan campur tangan metafesis. Bagaimanapun, menjelaskan segala sesuatu dengan hukum alam, yakni konsep kebetulan, merupakan pertanda bahwa tidak ada lagi jalan baginya. Karena, apa yang dapat dilakukannya selain mempercayai konsep kebetulan?

Memang, seperti yang dikatakan Dithfurt, penyangkalan "campur tangan supranatural" dipilih sebagai prinsip dasar pendekatan ilmiah materialis untuk menjelaskan kehidupan. Begitu prinsip ini dipilih, kemungkinan paling mustahil pun dapat diterima. Contoh-contoh mentalitas dogmatis ini dapat kita temui dalam semua literatur evolusionis. Pendukung teori evolusi terkenal dari Turki, Profesor Ali Demirsoy, hanyalah salah satu dari mereka. Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, menurut Demirsoy, "Probabilitas pembentukan secara kebetulan sitokrom-c, protein penting untuk kelanjutan hidup, adalah "sama dengan kemungkinan seekor monyet menulis sejarah manusia dengan mesin tik tanpa membuat kesalahan sedikit pun".

Tidak diragukan lagi, menyetujui kemungkinan semacam itu bertentangan denga prinsip-prinsip dasar nalar dan akal sehat. Satu huruf saja di atas kertas sudah pasti ditulis manusia, apalagi buku sejarah dunia. Tak ada orang waras yang akan setuju bahwa huruf-huruf dalam buku tebal tersebut tersusun "secara kebetulan".

Akan tetapi, sangat menarik untuk mengetahui bagaimana "ilmuwan evolusionis" seperti Profesor Ali Dermisoy menerima pernyataan tidak masuk akal semacam ini, "Pada dasarnya, kemungkinan pembentukan rangkaian sitokrom-c mendekati nol. Jadi kehidupan memerlukan sebuah rangkaian dapat dikatakan bahwa probabilitas kejadiannya hanya satu kali di seluruh alam semesta. Lebih dari itu, suatu kekuatan metafisis di luar definisi kita pasti telah melakukan pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir berarti tidak sesuai dengan tujuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kita harus mengambil hipotesis pertama."


Selanjutnya Demirsoy menyatakan bahwa ia menerima kemustahilan ini agar "tidak usah menerima kekuatan-kekuatan metafisis", artinya agar tidak mengakui penciptaan oleh Allah. Sangat jelas, pendekatan seperti ini tidak memiliki hubungan apa pun dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak mengherankan jika saat Demirsoy berbicara mengenai asal-usul mitokondria dalam sel, ia mengakui secara terbuka bahwa ia menerima konsep kebetulan ini meskipun sebenarnya "sangat bertentangan dengan pemikiran ilmiah".

"Inti permasalahannya adalah bagaimana mitokondria mendapatkan sifat ini, karena untuk mendapatkannya secara kebetulan, bahkan oleh satu individu pun, memerlukan probabilitas yang sulit diterima akal?. Sebagai alat respirasi dan katalis pada setiap langkah dalam bentuk berbeda, enzim ini membentuk inti dari mekanisme. Sebuah sel harus mengandung rangkaian enzim ini secara lengkap. Jika tidak, sel tersebut tidak akan berarti. Di sini, meskipun bertentangan dengan pemikiran biologis, untuk menghindari penjelasan yang lebih dogmatis atau spekulasi, mau tidak mau kita harus menerima bahwa semua enzim respirasi telah tersedia lengkap di dalam sel sebelum sel pertama menggunakan oksigen."

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa evolusi sama sekali bukan teori yang dihasilkan melalui penelitian ilmiah. Sebaliknya, bentuk dan substansi teori ini ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan filsafat materialistis. Selanjutnya, teori ini menjadi kepercayaan atau dogma, walaupun bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah konkret. Lagi-lagi kita dapat melihat dengan jelas dari literatur evolusionis bahwa semua usaha ini benar-benar memiliki "tujuan". Tujuannya adalah menghalangi setiap kepercayaan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh sang Pencipta.

Oleh evolusionis tujuan ini didefinisikan sebagai "ilmiah". Namun, rujukannya bukan ilmu pengetahuan melainkan filsafat materialis. Materialisme secara mutlak menolak keberadaan apa pun "di luar" materi (atau apa pun yang supranatural). Ilmu pengetahuan sendiri tidak diharuskan menerima dogma semacam itu. Ilmu pengetahuan berarti menyelidiki alam dan membuat kesimpulan-kesimpulan berdasrkan apa-apa yang ditemukan. Jika penemuan-penemuan ini menyimpulkan bahwa alam ini diciptakan, ilmu pengetahuan harus menerimanya. Demikianlah tugas seorang ilmuwan sejati; dan bukan mempertahankan skenario mustahil dengan berpegang teguh pada dogma-dogma materialis kuno abad ke-19.

Materialis, Agama Palsu dan Agama Sejati

Sejauh ini kita telah membahas bagaimana kelompok yang setia kepada filsafat materialis mengacaukan ilmu pengetahuan, menipu orang untuk kepentingan dongeng evolusionis yang mereka yakini secara buta, dan bagaimana mereka menutupi kenyataan. Namun, di samping itu kita juga harus mengakui bahwa kelompok materialis ini memberikan "layanan" berarti walaupun tanpa sengaja.

Mereka melakukan "layanan" ini dalam usaha membenarkan pemikiran-pemikiran mereka yang menyimpang dan ateis, dengan cara memaparkan semua kejanggalan dan ketidakkonsistenan tradisionalis dan pemikiran fanatik yang mengatasnamakan Islam. Serangan-serangan kelompok ateis-materialis mambantu mengungkap agama palsu yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Alquran dan Islam. Agama palsu ini dibela oleh kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesungguhan dalam keyakinannya dan dengan seenaknya bertindak atas nama Islam tanpa bukti-bukti yang benar. Berkat kelompok ateis-materialis, ketidakkonsistenan, penyimpangan, dan ketidaklogisan agama palsu terungkap.

Jadi, materialis membantu masyarakat menyadari kesuraman mentalitas tradisional fanatik, dan mendorong mereka mencari inti dan sumber agama sesungguhnya dengan merujuk dan mematuhi Alquran. Tanpa sengaja mereka mematuhi perintah Allah dan menegakkan agama-Nya. Lebih jauh lagi, mereka meyingkapkan semua kekerdilan mentalitas yang mendirikan agama palsu atas nama Allah dan menawarkannya sebagai Islam kepada semua orang. Mereka juga membantu melemahkan gerakan sistem fanatik yang mengancam masyarakat luas.

Jadi, mau tidak mau dan sesuai dengan takdir, mereka menjadi alat untuk mewujudkan firman Allah bahwa Dia menegakkan agama sejati-Nya melalui pertentangan orang-orang yang mengatasnamakan agama. Hukum Allah ini dinyatakan dalam Alquran sebagai berikut, "Dan seandainya Allah tidak menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi, Allah mempunyai karunia atas semesta alam." (Al-Baqarah: 251).

Sampai di sini kita perlu membuka pintu bagi sebagian pendukung pemikiran materialis evolusionis. Orang-orang ini mungkin pernah memulai pencarian yang jujur, namun terseret jauh dari agama sejati karena pengaruh omong kosong yang dibuat dengan mengatasnamakan Islam, kebohongan yang dibuat dengan mengatasnamakan Rasulullah saw., dan dongeng-dongeng yang mereka dengar sejak masa kanak-kanak, sehingga mereka tidak pernah berkesempatan menemukan kebenaran. Mungkin mereka pernah mempelajari agama dari buku-buku yang ditulis oleh para lawan agama, yang mencoba menggambarkan Islam dengan kebohongan dan kekeliruan yang tidak ada dalam Alquran, disertai tradisionalisme atau fanatisme. Inti dan asal-usul Islam sama sekali berbeda dengan apa yang telah diajarkan kepada mereka. Berdasarkan alasan ini, kami menganjurkan mereka segera mengambil Alquran dan membaca kitab Allah ini dengan hati terbuka dan pandangan cermat, tanpa prasangka, dan mempelajari agama asli dari sumber yang benar. Jika membutuhkan bantuan, mereka dapat merujuk pada buku-buku yang ditulis pengarang buku ini, Harun Yahya, mengenai konsep-konsep dasar dalam Quran.

Sumber: The Evolution Deceit, Harun Yahya
Diterjemahkan dan diterbitkan oleh: Penerbit Dzikra, Telp. (022)7276475, 7232147,
E-mail: dzikra@syaamil.co.id

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
read more “Teori Evolusi”

Ayat Ayat Al-Quran

Cari Blog Ini