Click here for Myspace Layouts
Powered By Blogger

Senin, 31 Oktober 2011

Dalil Mendirikan Negara Berdasarkan Syariah Islam


Posted By farid On 01 Oct 2008 @ 01:55 In Shari'ah | 1 Comment
Salah alasan yang sering dilontarkan oleh segelintir kelompok yang dikenal liberal
menolak penerapan syariah Islam oleh negara adalah bahwa tidak ada dalil yang
mewajibkan mendirikan negara. Bagaimana menjawab pertanyaan ini ?
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Quran
dan hadits-hadits nabi saw digunakan dua pendekatan. Pertama, memahami
pengertian secara tersurat, secara langsung dari lafazh-lafazh al-Quran maupun as-
Sunah. Ini yang sering dikatakan sebagai pengertian secara harfiah. Sedangkan para
ulama menyebutnya sebagai manthûq. Yakni pengertian tersurat, pengertian yang
langsung dipahami dari lafazh (kata) atau dari bentuk lafazh yang terkandung dalam
nash. Kedua, pengertian secara tersirat. Yaitu pengertian yang dipahami bukan dari
lafazh atau bentuk lafazh secara langsung, tetapi dipahami melalui penafsiran secara
logis dari petunjuk atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang
dinyatakan dalam nash. Kita sering menyebutnya sebagai pengertian kontekstual.
Sedang para ulama menyebutnya dengan istilah mafhûm. Makna ini merupakan akibat
(konsekuensi) logis makna yang dipahami secara langsung dari lafazh. Makna ini
menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung. Artinya makna ini menjadi keharusan
atau tuntutan makna lafazh. Dan para ulama menyebutnya sebagai dalâlah al-iltizâm.
Dalâlah al-iltizâm ini dapat dibagi menjadi : dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah tanbîh wa alimâ’,
dalâlah isyârah dam dalâlah al-mafhûm yang terdiri dari mafhûm muwâfaqah dan
mafhûm mukhâlafah (pengertian berkebalikan). Namun perlu diingat bahwa
pengambilan pengertian dari nash syara’ baik secara manthuq maupun secara mafhum
tidak boleh keluar dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab.
Dengan menggunakan dua pendekatan ini maka kita akan mendapati bahwa al-Quran
dan as-Sunnah serta didukung oleh Ijma’ Sahabat telah mewajibkan kita mendirikan
pemerintahan atau negara. Dalil-dalil serta penarikan argumentasi wajibnya kita
mendirikan negara/pemerintahan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, Allah Swt telah memerintahkan kita untuk menaati ulil amri. Allah Swt
berfirman :
يَاأَيُّھَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا للهََّ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. (TQS. an-Nisâ’ [04]: 59)
Ibn Athiyah menyatakan bahawa ayat ini merupakan perintah untuk menaati Allah,
Rasul-Nya dan para penguasa. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama: Abu
Hurairah, Ibn ‘Abbas, Ibn Zaid dan lain-lain.[1]
Lebih jauh ayat ini juga memerintahkan kita untuk mewujudkan penguasa yang kita
wajib mentaatinya. Semua yang dinyatakan oleh Allah adalah benar. Allah Swt juga
tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mungkin kita
laksanakan. Kewajiban menaati ulil amri itu akan bisa kita laksanakan jika sosok ulil
amri itu wujud (ada). Jika tidak ada, maka tidak bisa. Padahal, itu adalah kewajiban
dan tidak mungkin Allah salah memberikan kewajiban. Maka sebagai konsekuensi
kebenaran pernyataan Allah itu, maka sesuai ketentuan dalâlah al-iltizâm, perintah
menaati ulil amri juga merupakan perintah mewujudkan ulil amri sehingga kewajiban itu
bisa kita laksanakan. Maka ayat tersebut juga bermakna, realisasikan atau angkatlah
ulil amri diantara kalian dan taatilah ia. Yang dimaksud ulil amri dalam ayat ini adalah
penguasa.
Kedua, Allah memerintahkan untuk menerapkan syariat Islam. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُھَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَھُمْ بِمَا

أَنْزَلَ للهَُّ وَلاَ تَتَّبِعْ أَھْوَاءَھُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]:
48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَھُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ وَلاَ تَتَّبِعْ أَھْوَاءَھُمْ وَاحْذَرْھُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ
للهَُّ إِلَيْكَ
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 49)
Kedua ayat di atas secara tersurat memerintahkan Rasul untuk menghukumi
(memerintah) dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Kata mâ anzala Allâh, kata mâ
ini merupakan lafazh umum makna ayat tersebut adalah hukumi (perintahlah) mereka
sesuai dengan apa saja yang diturunkan oleh Allah kepadamu wahai Muhammad dan
jangan kamu mengikuti yang lain. Karena yang lain itu berasal dari hawa nafsu yang
hanya akan menyebabkanmu menyimpang dari apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu.
Sekalipun mukhathab (orang yang diseru) secara langsung dalam ayat ini adalah
Rasul, namun seruan ini juga merupakan seruan bagi kita, umat Rasul, karena kaedah
syara’ mengatakan
[ خِطَابُ الرَّسُوْلِ خِطَابٌ لأُمَّتِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ ]
Seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya selama tidak datang dalil
yang mengkhususkan kepadanya [2]
Sementara tidak ada satu dalil pun yang mengkhususkan seruan itu hanya bagi rasul.
Oleh karenanya, seruan dalam kedua ayat di atas juga merupakan seruan kepada
kita.
Kemudian terhadap perintah di atas datang berbagai qarinah (indikasi) yang
mengindikasikan bahwa perintah tersebut sifatnya adalah tegas. Indikasi-indikasi
tersebut adalah firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang zalim (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ للهَُّ فَأُولَئِكَ ھُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak menghukumi (memerintah) dengan apa-apa yang diturunkan
oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir (TQS. al-Mâ‘idah [05]: 47)
Disifatinya orang yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan oleh Allah
(syariat Islam) sebagai orang zalim, fasik atau kafir, menunjukkan adanya celaan
atasnya. Jika perintah melakukan sesuatu, lalu orang yang tidak melakukannya
mendapat celaan, maka itu menunjukkan bahwa perintah tersebut sifatnya tegas



yakni wajib. Dengan demikian perintah Allah untuk menghukumi manusia menggunakan
apa-apa yang diturunkan oleh Allah yakni dengan syariat Islam adalah wajib.
Disamping itu banyak nash yang menjelaskan hukum-hukum rinci baik dalam masalah
jihad, perang dan hubungan luar negeri; masalah pidana seperti hukum potong tangan
bagi pencuri, qishash bagi pembunuh, jilid atau rajam bagi orang yang berzina, jilid
bagi qadzaf (menuduh seseorang berzina dan tidak bisa mendatangkan empat orang
saksi) dan sebagainya; hukum masalah muamalah semisal jual beli, utang piutang,
pernikahan, waris, persengketaan harta, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib kita
laksanakan.
Hukum-hukum itu tentu saja tidak bisa dilaksanakan secara individual. Akan tetapi
sudah menjadi pengetahuan bersama dan tidak ada satu orangpun yang
memungkirinya, bahwa penerapan hukum-hukum itu hanya melalui institusi negara dan
dilaksanakan oleh penguasa. Jadi pelaksanaan berbagai kewajiban itu yaitu kewajiban
menghukumi segala sesuatu dengan syariat Allah itu hanya akan sempur bisa kita
laksanakan jika ada negara dan penguasa yang mengadopsi dan menerapkannya.
Berdasarkan kaedah
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَھُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
menjadi wajib [3]
Kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya negara dan penguasa yang bertindak sebagai pelaksana (munaffidz),
maka mewujudkan negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu menjadi
wajib.
Dari sejumlah nash di atas menjadi jelas bahwa kita diperintahkan untuk mendirikan
negara dan mengangkat penguasa. Hal itu merupakan kewajiban, Juga jelas bahwa
negara dan penguasa yang wajib kita wujudkan itu bukan sembarang negara dan
sembarang penguasa. Akan tetapi negara yang wajib kita wujudkan itu adalah negara
yang menerapkan hukum-hukum Allah. Karena pendirian negara itu adalah dalam
rangka melaksanakan kewajiban menghukumi segala sesuai dengan hukum-hukum
Allah. Sedangkan penguasa yang wajib kita angkat melihat dari nash-nash diatas
haruslah berasal dari kalangan kita yakni kaum muslim karena dalam QS. an-Nisa ayat
59 itu disebutkan minkum (dari kalian), sementara kalian yang dimaksud adalah kaum
mukmin. Dan sifat yang kedua adalah bahwa penguasa itu kita angkat untuk
menerapkan hukum-hukum Islam. Karena ia kita angkat dalam rangka melaksanakan
kewajiban menghukumi sesuai hukum Allah. Semua ini menegaskan kepada kita bahwa
metode satu-satunya untuk menerapkan Islam secara total adalah negara (daulah).

[1] Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajîz, juz iv, hal. 158
[2] An-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III (ushul Fiqh), min Mansyûrât Hizb at-
Tahrîr, Al-Quds. Cet. II hal. 242.
[3] Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm-il Ushûl, juz 1 hal. 71; Al-Banani, Hâsyiyah al-
Banâni, juz 1 hal. 193;
0
Artikel ini dicetak dari Hizbut Tahrir Indonesia: http://hizbut-tahrir.or.id
URL to article: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/01/dalil-mendirikan-negaraberdasarkan-
syariah-islam/

2 komentar:

  1. kunjungan gan.,.
    bagi" motivasi.,.
    fikiran yang positif bisa menghasilkan keuntungan yang positif pula.,..
    di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,

    BalasHapus

Ayat Ayat Al-Quran

Cari Blog Ini